Pon dan Gotong Royong

Didorong kegagalan ikut serta dalam Olimpiade XIV di London tahun 1948, serta guna memelihara semangat keolahragaan nasional, mempertahankan kemerdekaan dengan menunjukan keberadaan bangsa dan negara Indonesia kepada dunia luar, maka timbul inisiatif untuk menghidupkan kembali pekan olahraga yang pernah lahir di Solo pada tahun 1938.

Sehari sebelum pelaksanaan PON I, yaitu pada 9-12 September, terlebih dulu dilaksanakan upacara penyerahan Bendera Merah Putih dan Bendera PON I di halaman Istana Yogyakarta. Penyerahan itu dilakukan oleh Presiden Soekarno kepada Subardi (Ketua Komite Jalan Beranting) yang akan membawa bendera tersebut ke Solo.

Saat pembukaan PON I itu, Presiden Soekarno memberikan pidatonya, seperti dicuplik berikut;

“Pertama-tama mengucap syukur kepada Allah Subahanahuwata ‘ala’ bahwa PON berlangsung di alam merdeka bebas. Kemudian menyatakan perasaan bangga atas ikut serta pahlawan-pahlawan dari daerah pendudukan, tetapi masih belum puas karena PON belum dapat diikuti oleh seluruh Indonesia dari seluruh Nusantara. Selanjutnya diharapkan supaya PON bukan hanya untuk menjadi pekan-pekan mengolah jasmani, tetapi pun hendaknya menjadi pula pekan mengolah rohani…  Pemuda-pemuda dan Pemudi-pemudi datang di Solo ini tidak untuk berolahraga saja, tetapi terutama untuk menunjukan semangat kemerdekaan yang menyala-nyala, diadakan bagi perbaikan derajat dan rohani bangsa”.

Ketika itu PON I diikuti oleh 13 Keresidenan (khususnya di Pulau Jawa), yaitu: Bandung, Jakarta, Semarang, Malang, Surabaya, Kedu, Banyumas, Surakarta, Yogyakarta, Pati, Madiun, Kediri, dan Bojonegoro. Sedangkan cabang olahraga yang dipertandingkan dalam PON ini berjumlah 9 cabang olahraga, yaitu; atletik, bola basket, bola keranjang, bulu tangkis, panahan, pencak silat, renang, sepakbola, dan tenis.

Selanjutya.. http://sejarahkita.org/kronik/299-gotong-royong-pon-pertama

Pemikiran Bung Karno

Kegandrungan Bung Karno pada gagasan persatuan, dapat dilihat dalam pidato kenegaraan Bung Karno pada 17 Agustus 1954, ketika Bung Karno menyampaikan; “Apapun pembelinya, persatuan nasioal harus kita pertegakkan”. Pidato tersebut dimaksudkan untuk mengingat peristiwa pemberontakan Madiun dan Pemberontakaan Republik Maluku Selatan. Bung Karno mengingatkan, bahwa persatuan Indonesia sebagai sebuah bangsa selalu terancam.

Bagaimana pentingnya arti persatuan bangsa pernah juga diutarakan Bung Karno dalam kuliah umumnya di Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 1958. Bung Karno mengatakan; “Jikalau kita tidak setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu Negara Kesatuaan Republik Indonesia yang berwilayah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke benar-benar di waktu yang akhir ini kita terancam bahaya akan pecah terpecah-belah menjadi beberapa bagian. Oleh karena itu kita harus dengan sadar bekerja dengan sekuat-kuatnya dengan ideologi kita, Pancasila, yang berdasarkan atas kemanusiaan, peri kemanusiaan, bekerja sekuat-kuatnya untuk mendatangkan perdamaian dunia.”

Selanjutnya: http://sejarahkita.org/refleksi/298-persatuan-saripati-pemikiran-bung-karno

Soekarno dan Merah Putih

Hari itu, 1 September 1945, Bung Karno menetapkan supaya setiap warga negara Republik memberikan salam kepada yang lain dengan mengangkat tangan, kelima jari terbuka lebar yang berarti “lima sila” sambil meneriakkan “MERDEKA”.

Bung Karno juga memerintahkan agar bendera Merah Putih dikibarkan di semua gedung umum. Pesan Bung Karno, bendera Merah Putih sebagai simbol revolusioner.

Dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, Bung Karno menceritakan bagaimana rakyat Republik Indonesia muda amat gemar akan lambang atau simbol. Oleh karenanya ketika itu Bung Karno meminta untuk membikin 10 juta bendera Merah Putih kecil terbuat dari kertas, kemudian disebarkan oleh kurir sampai ke pelosok-pelosok terpencil tanah-air. Tujuan Bung Karno agar tersebarkan perasaan “Indonesia” kepada seluruh rakyat di pulau-pulau yang jauh dengan pergolakan bahwa mereka pun turut dalam perjuangan bangsanya.

Selengkapnya… http://sejarahkita.org/refleksi/297-soekarno-bung-dan-merah-putih

Tan Malaka dan “Testamen Politik” Soekarno-Hatta

“Bung Tan”, kata Bung Karno, “Kita sekarang menghadapi kedatangan Sekutu yang melucuti angkatan perang Jepang. Saya tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada diri saya. Saya bisa ditangkap, dibuang, atau dibunuh. Berikanlah petunjuk-petunjuk pada pemimpin kami dalam hal taktik dan strategi perjuangan rakyat kita untuk mempertahankan kemerdekaan.”

Tan Malaka menjawab; “Saya tidak dikenal oleh pemimpin-pemimpin yang Saudara singgung. Saya sanggup menunaikan tugas saya itu apabila Bung Karno memberi surat kepada saya sebagai tanda pengenalan.” “Baik”, kata Bung Karno, “nanti saya sampaikan kepada Bung Tan, surat yang dimaksud itu.”

Selengkapnya… http://sejarahkita.org/kisah/296-tan-malaka-dan-testamen-politik-soekarno-hatta

Ganefo: Bersatunya Lembu, Spink, dan Barongsai

Ruang sidang PBB tahun 1960 di New York, Amerika Serikat, menjadi saksi ketika Presiden Soekarno meminta agar markas PBB dipindahkan ke Negara yang netral. Kekecewaan terhadap lembaga internasional itu membuat Bung Karno mengeluarkan konsepsi,kekuatan negara-negara baru, dalam Conference of the New Emerging Forces (Conefo), sebagai pesaing dari kekuatan negara-negara yang menguasai lembaga-lembaga internasional. Selanjutnya… http://sejarahkita.org/kronik/292-ganefo-bersatunya-lembu-spink-dan-barongsai

KAA Bandung dan Penguatan Jakarta-Peking

Usaha pembunuhan Zhou, juga belum selesai. Agen CIA juga disebut, akan melakukan peracunan dalam jamuan makan. Menurut Steve Tsang, CIA tak terlibat, meski awalnya juga punya rencana untuk menghabisi Zhou Enlai. Ketika diangkat menjadi wakil direktur CIA pada 1954, Jenderal Lucian Truscott menemukan bahwa CIA berencana membunuh Zhou Enlai. Selama perjamuan akhir di Bandung, seorang agen CIA akan membubuhkan racun ke mangkuk nasi Zhou yang tak akan bereaksi selama 48 jam hingga Zhou kembali ke China. Truscott menghadap Direktur CIA Allen Dulles dan memaksanya menghentikan operasi itu.

Dalam Konferensi Asia-Afrika, Zhou Enlai menjadi bintang. Dengan tenang dia menangkis pidato delegasi negara lain yang menyerang China dan komunisme. Zhou juga menjadi pendamai ketika terjadi kebuntuan antara negara-negara yang berpihak dan negara-negara bebas-aktif. Zhou pula yang mengusulkan suatu Deklarasi Perdamaian. Selengkapnya ….. http://sejarahkita.org/kronik/291-kaa-bandung-menguatkan-jakarta-peking

Nasionalisme Timur

Perkenalan Bung Karno terhadap Cina, jauh sebelum Indonesia merdeka. Pengembaraan intelektual Soekarno muda di era-era pergerakan kebangsaan di tahun 1920-an membawanya akrab dengan pikiran Sun Yat-sen, Mao Tse-tung dan Chiang Kai-shek.

Soekarno menganggap gerakan nasionalis Indonesia menjadi bagian integral dari “Nasionalisme Timur”. Dalam tulisannya tahun 1928 Soekarno mengatakan, “Gerakan nasionalis di Indonesia lahir, antara lain, karena inspirasi dari gerakan di negara-negara Asia lainnya”. Cina sebagai salah satu model utama nasionalisme Asia dan Dr Sun Yat-sen berada di pusat bayangan nasionalis Cina. Soekarno menganggap dirinya sebagai “murid” Dr. Sun Yat-sen, yang ia gambarkan sebagai “pemimpin nasionalis yang sangat besar” dan “bapak rakyat Cina”.

Dia mengakui bahwa gagasan-gagasan Sun Yat-sen telah memberinya beberapa rangsangan intelektual dalam mengembangkan nasionalisme dan ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila. Dalam pidato tahun 1 Juni 1945 di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyusun pidato monumental yang akan dikenang sebagai lahirnya dasar Negara Indonesia Pancasila.  Selengkapnya… http://sejarahkita.org/kronik/290-bung-karno-dan-gagasan-pan-asia